Assalamu'alaykum...

Kamis, 18 November 2010

Kita Memang Harus Bersabar

Malaikat Jibril ‘marah’ dan menawarkan bantuan kepada Rasul yang dimuliakan Allah Muhammad Saw untuk menimpakan gunung kepada masyarakat Thaif yang telah menghinakan Rasulullah dan para sahabat. Namun tawaran itu ditolak halus oleh Rasul karena kesabaran beliau dalam berdakwah. “Mereka hanya belum mengerti” begitu kira-kira. Dengan bijak Rasulullah pun memaafkan kaum Thaif. Perlakuan demikian tentu tidak hanya di Thaif, di beberapa tempat dimana Rasulullah berdakwah tidak jarang cacian, intimidasi sampai ancaman pembunuhan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dakwah. Bahkan ada satu kisah seorang dari kamu kafir yang tidak bosan-bosannya setiap hari meludahi Rasulullah, justru beliaulah orang pertama yang menjenguk ketika ‘si peludah’ itu sakit. Sungguh Allah-lah yang mampu memelihara hati sedemikian suci, jiwa sebegitu besar.


Apa yang dilakukan Rasulullah, tidak memperturutkan amarah –meski sangat beralasan untuk melakukannya- dan lebih memaafkan orang-orang yang dinilainya belum mengerti bukan karena beliau lemah, juga bukan tak memiliki kekuatan apapun. Meski pengikutnya masih sedikit, tentu bisa saja bagi kekasih Allah itu untuk meminta para Malaikat menjadi pengawalnya dan Allah dengan segala kuasanya menghancurkan orang-orang zhalim. Tapi tidak, disitulah salah satu rahasia keberhasilan beliau dalam memperjuangkan agama Allah. Dan karena itu pulalah Muhammad dicinta. Sepanjang sejarah yang kita ketahui, Rasulullah dan para sahabatnya kemudian melawan untuk berperang hanya ketika turun perintah untuk itu, meski para sahabat sangat ingin melakukannya.
Kekerasan, kezhaliman dan kesewenang-wenangan akan selalu ada sepanjang sejarah manusia dan sampai akhir hayat manusia. Manusia yang digambarkan malaikat sebagai makhluk pembuat kerusakan dan yang menumpahkan darah di muka bumi (QS. 2:30) seolah menjelaskan tipikal manusia. Sangatlah sesuai dengan tujuan diutusnya Rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia melanjutkan tugas Rasul dari generasi ke generasi.
Kerusakan, pertumpahan darah dan kesewenang-wenangan mungkin akan tetap terjadi sampai akhir zaman. Dan kini, ketika jumlah orang-orang zhalim yang melakukan kerusakan, kekerasan serta tindakan tak berperikemanusiaan itu jauh lebih besar, jauh lebih kuat, seolah kita kembali di zaman Rasulullah. Bahwa kesabaran tidak identik dengan ketidakberanian, dan mengalah bukan berarti kalah. Arus kezhaliman sudah sedemikian rupa derasnya dan dengan tenaga yang tidak besar tak mungkin kita melawan arus, tetapi bukan pula untuk mengikuti arusnya. Setidaknya bertahan untuk menjaga benteng pertahanan diri dan keluarga patut kita perkuat sambil menyusun strategi untuk maju.
Sistematika dakwah Rasul seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk meraih kejayaan. Dengan memperkuat basis terdekat dari kalangan keluarga, kerabat dan sahabat kemudian merambah seiring bertambahnya kekuatan yang ada. Maka barulah melakukan aksi terang-terangan menentang kezhaliman untuk sebuah perubahan. Dan itu tidak dilakukan dalam rentang waktu sesaat. Puluhan tahun Khomeini berjuang dari luar Iran dan ketika kembali dengan kekuatan yang signifikan mampu melahirkan revolusi Iran. Puluhan tahun pula gerakan dakwah secara diam-diam dilakukan di Aljazair sehingga partai Islam FIS bisa memenangkan pemilu, meski harus rela pemilu digagalkan. Setidaknya dua contoh diatas menjadi pelajaran berharga, sekali lagi, bahwa kesabaran adalah kunci keberhasilan.
Dari skala yang terkecil, di lingkungan rumah, sekolah, kampus, kantor, jika belum sanggup untuk melakukan perubahan karena dikhawatirkan menjadi kegagalan mutlak. Cukuplah dengan bertahan sementara sambil mendekati orang-orang bisa dijadikan tambahan kekuatan. Maka kemudian muncullah gerakan dakwah kampus, atau Forum silaturahmi masjid perkantoran yang embrionya dari keberadaan rohani Islam di masing-masing kantor. Bukan tidak mungkin jika semua sektor bisa berdiri forum-forum dengan gerakan-gerakan Islam, cita-cita untuk menciptakan masyarakat Islami akan terwujud.
Namun yang perlu diperhatikan, terbentuknya gerakan-gerakan Islam di berbagai sektor kehidupan bernegara sehingga menjadi sebuah gerakan yang besar berkesinambungan adalah karena pribadi-pribadi yang cakap, menjadi teladan, yang berjiwa besar, sabar, cerdas, dan bertanggungjawab selain memiliki akhlak yang menjadi dasar utama perilaku keseharian. Tanpa kepribadian demikian, tentu takkan pernah ada gerakan-gerakan semacam itu. Pribadi-pribadi itu mungkin adalah anda, dan kita semua. Hanya saja bagaimana seorang berkepribadian demikian –setidaknya dianggap demikian- bisa tetap bertahan dan senantiasa meningkatkan kualitasnya ditengah serangan-serangan budaya dan pemikiran yang bisa melemahkan. Sehingga kemudian pribadi-pribadi itulah yang menjadi nilai tersendiri bagi terbentuknya generasi baru, terus berkalanjutan bahu membahu memegang tongkat estafeta dakwah.
Pertanyaannya kemudian, sudahkah diri ini menjadi bagian dari pribadi yang mampu menularkan dan memberikan kontribusi bagi terciptanya pribadi baru dilingkungan sendiri, di rumah, kampus, kantor dan lain tempat. Atau justru kita hanya bisa bertahan dengan keshalihan sendiri dan tidak berbuat satu apapun. Dalihnya, itu masih lebih baik ketimbang terperosok kepada hegemoni kemaksiatan. Tentu yang demikian bukan hakikat kesabaran, karena kesabaran sesungguhnya adalah bukan pasrah menerima semua kenyataan diri melainkan bertahan sementara sambil menatap peluang untuk maju dan berhasil. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Iqna Haya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar,,,